Kalopsia by Achlys

; Tentang Iel

byachlys
4 min readMar 20, 2023

--

Memasuki bulan keempat, atau mungkin sudah mau menuju lima bulan ia mengenal sosok Aziel Rayyan. Ila pernah membayangkan, seandainya hari itu ia tidak lebih dulu memulai, mungkin ia juga tidak akan sejauh ini berteman dengan Iel. Kalau hari itu ia tidak bersikap sok akrab, mungkin Iel tidak ada di setiap hari-harinya. Mungkin kisah Iel dan Ila tidak akan pernah ada saat ini.

"Sejauh ini, lo kenal Iel itu sosok yang kayak gimana, sih?" tanya Aster. Keduanya tengah menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe. Mumpung weekend, kata Aster.

Ila sejenak menatap gelas minumannya. Alisnya menukik samar, seolah ia tengah membayangkan Iel. Wajahnya, suaranya, tawanya—semua yang ia tahu. "Mungkin kalau gue ceritain, udah jadi buku kali, As."

"Haha. Secara singkat aja," jawab Aster disela tawa kecilnya.

Ila tersenyum. "Dia orangnya bodoamatan sama apa kata orang, dia sering dibilang nggak suka sama cewek, tapi menurut gue tuh dia sebenernya normal, As. Emang malu aja buat deket sama cewek, apalagi buat ngobrol." Ila mengingat-ingat lagi tentang lelaki itu. "Dia nggak suka ngobrol sama orang—bukan nggak suka, sih. Tapi dia lebih ke malu, takut buat interaksi sama banyak orang. Cuma sama gue, dia berani buat ngobrol, itu juga awalnya dia takut ngobrol sama gue, As. Terus lama-lama dia duluan kadang yang ngajakin gue ngobrol."

Aster mendengarkan dengan baik.

"Dia nggak pernah pacaran, dan kalo ada cewek yang suka sama dia pun, ya dia cuek aja dan nggak peduli. Alasannya pasti malu dan takut. Dia suka gemeter kalo ngobrol sama cewek," lanjut Ila.

"Oh, ya?" tanya Aster, terdengar antusias dan Ila memberikan anggukan. "Dia suka apa, Zil?" tanyanya lagi.

"Dia sukanya makan nextar cokelat. Dia suka teh, nggak suka kopi. Dia bilang dia suka ngobrol sama gue. Dia suka main gitar, dia juga udah nggak suka main game, nggak tau kenapa. Anaknya beneran gitu, As. Anak rumahan banget, nolep. Dia nggak suka ke mana-mana, lebih suka di rumah."

"Dia anak tunggal?"

Ila mengangguk. "Iya, dia anak tunggal. Papanya kadang sering ke luar kota, Mamanya di rumah." Sejenak Ila mengulum bibirnya, ia melanjutkan, "Orang tua dia 'kan punya kontrakan, ya. Nah, Iel tuh sering tidur di kontrakan, katanya disuruh jagain. Takut ada yg macem-macem bawa cewek gitu lah. Kalau malam dia di kontrakan, terus paginya pulang. Iel 'kan begadang mulu anaknya, nah pagi sampai sore kadang dia tidur."

"Oh, dia punya kontrakan. Jadi, dia paling ke luar tuh, ya ke kontrakan?" tanya Aster.

"Iya. Iel anaknya penakut juga, As. Dia nggak suka ribut-ribut, apalagi sama yang berbau horror, dia takut banget." Ila bercerita sambil membayangkan Iel. Seolah isi kepala hanya ada sosok lelaki itu.

"Lo kenal sama dia belum lama ‘kan ya, tapi lo hafal detailnya, Zil." Aster menggelengkan kepalanya, cukup salut.

Ila hanya tersenyum menanggapinya.

"Gue punya wishlist, As. Wishlist berdua sama Iel."

"Apa, tuh?"

"Wishlist gue sama dia itu camping, liat sunset—kita berdua sama-sama suka sunset." Ila tertawa kecil. "Terus, muterin kota Bandung sambil nyanyi lagu Dan Bandung. Ah, sama makan bubur Mang Dahlan yang kata dia enak banget, bubur langganan dia."

Aster kembali tersenyum. "Lo sayang banget, ya pasti sama dia?" Sebenarnya tak perlu mendapat jawaban dari Ila pun Aster tahu. Mengenal baik sosok Iel, Ila tak mungkin jika tidak menaruh perasaan itu kepada Iel.

"Kata-kata yang selalu gue inget dari dia itu, jangan pernah bergantung sama orang lain." Ila merasakan suara Iel bergema dalam isi kepalanya, ia ingat bagaimana suara Iel mengalun indah. Sama seperti saat Iel menyanyikannya lagu Yahya yang berjudul keepyousafe. "Katanya, kita 'kan nggak tau kapan manusia bakal pergi ninggalin kita."

Aster menatap sendu. "Iya, dia bener. Lo inget aja pesan dia."

"Mungkin kalau Iel nggak sakit, gue nggak akan berpikir jauh, As. Gue masih bisa tenang, tapi fakta kalau dia sakit, itu yang bikin gue suka kepikiran."

Aster cukup terkejut, karena Ila belum pernah menceritakan hal itu sebelumnya. “Dia sakit?” tanyanya ragu. Melihat anggukan yang diberikan Ila membuat Aster bertanya kembali dengan hati-hati. "Lo tahu dia sakit apa?"

Ila menggeleng pelan. "Nggak, As. Dia selalu bilang rahasia."

"Dia pasti sembuh." Aster memberikan senyumannya untuk menyalurkan kehangatan. Satu tangannya ia gunakan untuk mengusap pelan lengan Ila. "Jangan sedih, Zil. Nanti gue ikutan sedih," katanya.

Ila terkekeh pelan. "Iya, gue yakin dia pasti sembuh."

"Lo harus sering kasih dia semangat, sih. Karena takutnya dia juga pasti ada kalanya ngeluh karena sakit. Makanya lo harus ada buat dia."

Ila mengangguk. Dia pasti akan menemani Iel.

"Tiap kita ngobrol, dia suka ngeluh dadanya sakit. Napasnya juga susah," kata Ila. Ia ingat sekali suara Iel yang terdengar menahan sakit. "Tapi dia nggak pernah bilang sakit secara terang-terangan, As. Dia selalu bilangnya capek."

Aster tidak memberikan jawaban, ia hanya bisa memenangkan Ila.

"Gue takut, As. Gue takut dia kenapa-napa."

"Nggak, nggak. Dia pasti sembuh, nanti lo kasih tau dia supaya semangat berobatnya." Aster tersenyum manis. "Dari semua cerita yang lo bilang, gue yakin Iel juga udah percaya sama lo, Zil. Jadi, lo juga harus percaya sama dia."

Ila tersenyum tipis dan mengangguk. Aster benar.

Ia hanya perlu percaya 'kan?

Iel pasti sembuh.

Ada banyak yang harus mereka lakukan saat bertemu nanti. Jadi, mari berjanji untuk tidak mengeluh, menunggu hari itu tiba. Ila bukan tidak mau menemui Iel, tetapi Iel tentu tidak akan memberitahunya di mana Iel tinggal. Bukan karena ia tidak suka, tetapi Iel memegang janji bahwa Iel yang akan menyusulnya, menemuinya lebih dulu.

Tidak apa, sampai kapan pun Ila akan menunggunya. Semoga semesta berbaik hati padanya kali ini.[]

--

--

No responses yet