Kalopsia by Achlys

; Kejujuran

byachlys
3 min readMar 14, 2023

--

Kira-kira dua puluh menit Ila dan Iel saling diam di tengah sambungan telepon. Ila tengah merasa ragu. Ada pertanyaan yang belakangan ini sering memenuhi isi kepalanya. Ada perasaan yang kerap membuatnya tidak nyaman. Tetapi, ia juga tidak tahu bagaimana caranya bertanya kepada Iel.

Tadi, Iel sempat membisukan suara di teleponnya, Iel berkata bahwa ia butuh waktu karena dadanya tiba-tiba sakit. Ini bukan pertama kalinya, dan inilah yang mengganggu perasaannya.

“Iel,” panggil Ila.

Terdengar Iel kembali mengaktifkan suaranya. “Iya,” jawabnya pelan.

“Emang lo sakit apa, sih?”

“Rahasia.”

“Jawab, Iel jangan gitu.”

“Lambung, mag juga.”

“Berarti lo nggak boleh telat makan,” kata Ila. Ia sempat terdiam beberapa detik karena cukup terkejut.

“Ada, sih satu lagi sakitnya. Tapi rahasia, nggak boleh dikasih tau.” Jawaban itu sukses membuat Ila kembali diam. Namun, tak berselang lama, Ila kembali bersuara.

“Mainnya rahasiaan terus.”

“Nggak apa-apa, Ila.”

“Terserah lo , deh.”

Lalu setelahnya kembali hening. Ila mendengar Iel bergumam kecil di sana. “Gua nggak mau drop lagi, Laa. Pakai selang infusan, selang yang dimasukin ke hidung itu bikin gua susah ke mana-mana. Ngapain aja susah, makan susah, mandi susah.”

Ila tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. “Makanya jaga kesehatan, Iel.”

“Iya, Ila. Gua juga udah nggak makan sembarangan, kok. Nggak ngerokok, nggak makan mi, minum es juga nggak,” jawab Iel. Masih dengan suara yang lembut, dan tentu pelan.

“Tapi lo begadang terus, Iel.”

“Iya nanti, deh tidur cepet.”

“Harus. Lo harus pikirin kesehatan juga,” ujar Ila. Gadis itu kembali bertanya, “Mama lo tau nggak lo sering kambuh?”

“Nggak. Takut Mama khawatir.”

“Iel, lebih baik khawatir sekarang daripada nanti. Bisa dicari obatnya dari sekarang, nanti kalau makin parah gimana?”

“Iya nanti bilang,” jawab Iel. Iel selalu begitu, selalu mengiyakan apa yang Ila bilang. Iel selalu mengalah.

“Iya, nanti biar dicari obatnya.”

Nggak mau ‘kan sakit-sakit lagi?”

“Nggak mau.”

“Ya udah makanya biar diobatin.”

“Iya, Ila Bawel.”

“Nggak apa-apa bawel, habisnya lo bandel.”

Alih-alih menjawab yang satu itu, Iel justru melayangkan pertanyaan yang membuat Ila tak dapat menahan cairan bening di pelupuk matanya.

“Kalau nggak sembuh gimana, Laa?”

“Apa, sih Iel ngomongnya kok gitu?”

“Iya ‘kan penyakitnya itu banyak yang sembuh, banyak juga yang nggak.”

“Ya pasti lo sembuh, Iel. Jangan ngomong gitu. Nggak boleh.”

“Semoga.”

Ila semakin terisak di sana. “Jangan ngomong gitu lagi, ya. Gue nggak mau.”

“Iya, Ila.”

“Cepet sembuh, Iel. Gue nggak mau lo sakit terus,” ujar Ila di sela tangisnya.

“Iya, Ila. Udah diem dulu, jangan nangis.”

“Nggak mau. Takut, lo ngomongnya gitu.”

“Maaf, Ila. Lagian kenapa takut, kan gua yang ngerasain.”

Ila masih menangis, ia menjawab, “Makanya lo harus cerita ke gue semuanya, jangan ditutupin, biar gue juga tau lo kenapa.”

“Nggak bisa.”

“Kenapa nggak bisa? Lo bisa kok kalau mau cerita ke gue, Iel.”

“Lu harus biasa aja, La. Kan gua yang rasain sakitnya.”

Ila mengatur suaranya agar lebih tenang. “Gue bakal nunggu lo sampai balik lagi, Iel. Gue cuma mau ngobrol sama lo, nggak mau sama orang lain. Gue pasti nangis kalau nggak ada lo.”

Iel terdiam beberapa saat sebelum ia kembali berkata, “Kalau selamanya gimana, Laa? Kan kita nggak tau ke depannya—eh, tapi gua ‘kan masih di sini, nggak ke mana-mana juga. Udah jangan nangis, ya.”



“Lo mau ninggalin gue, Iel?” tanya Ila tiba-tiba.

“Nggak, Ila. Gua ‘kan masih di sini.”

Ila malah semakin menangis mendengar itu.

“Gua boleh kasih pesan nggak buat lu?”

Ila membuang napas berat. “Apa?” tanyanya dengan suara serak.

“Jangan bergantung ke orang lain, ya, Ila. Gua cuma ngingetin aja.”

Ila tahu kenapa Iel berpesan seperti itu, karena lelaki itu tahu bahwa Ila suda bergantung kepadanya. Iel tidak mau jika ada satu hari di mana Iel tak ada untuknya, Ila akan menangis dan mencarinya.[]

--

--

No responses yet