— Butuh Waktu

byachlys
7 min readJan 22, 2023

Pukul tujuh malam.

Kaavi tengah menikmati waktunya bersama dengan Andin di ruang tengah apartemen si gadis. Keduanya tidak melakukan apa pun selain hanya mengobrol bersama.

“Mau wine?” tanya Andin, menatapnya lekat. Dia sebenarnya tidak terkejut ketika Kaavi datang ke tempatnya dengan alasan dia butuh teman untuk mengobrol. Mungkin akan menyenangkan jika mereka ditemani segelas wine, pikir Andin.

Kaavi duduk di sofa empuk apartemen milik Andin.

“Boleh.”

Okay!” ucap Andin sambil tersenyum. Dia bangkit dari sana dan menuju ke dapur, menyiapkannya untuk Kaavi yang terlihat sekali sedang memiliki masalah. Kabar kematian dua temannya itu, tentu saja Andin tahu. Dia berpikir bahwa masalah yang dihadapi Kaavi tak jauh dari sahabatnya.

Meletakkan minuman di meja, Andin menemani Kaavi dengan duduk di sebelahnya. Televisi di hadapannya sudah diputar sambil keduanya berbincang banyak hal. Minuman terus diteguk Kaavi dan dirinya yang diiringi tawa. Sesekali dia menyandarkan kepalanya pada bahu Kaavi.

Wanna use me?”

“Nah. Gue cuma butuh teman ngobrol sama mabuk." Kaavi kembali meneguk minumannya. Tangannya yang kini merangkul Andin pun sesekali bergerak mengusap surai si gadis. Andin mengangguk-anggukan kepalanya. Menurut. Terlepas dari keuntungannya bersama Kaavi, dia mengakui Kaavi juga memiliki pesona yang tidak bisa dia lewatkan. Dia memang mengakui secara gamblang jika dia menginginkan Ibra, tetapi bersama Kaavi seperti ini, dia tidak akan menolaknya.

Andin menegakkan tubuhnya, dia menarik tangan Kaavi yang hendak meneguk minumannya. “Kaav, minumnya udah. Lo udah kebanyakan minum itu,” ucap Andin. Dia sangat tahu jika Kaavi tidak bisa minum banyak-banyak.

Kaavi terus meneguk minumannya, menuang ke gelas terus-menerus. “Kaav? Astaga. Apa, sih yang buat lo kacau gini?” Andin masih berusaha menghentikannya.

It’s ok, Din.” Dia melirik pada Andin dan memberikan senyuman. “Biarin si brengsek ini mabuk.”

Andin mengernyit bingung. Dia tentu saja tidak mengerti. Kaavi sudah pasti mabuk dan tidak sadar berkata demikian. Dengan terpaksa dia merebut gelas minumannya dan menjauhkannya dari Kaavi. Dia membantu Kaavi untuk dilepaskan jaketnya dan menyandarkan kembali tubuhnya pada sofa.

“Lo istirahat, deh.”

Suara Andin masih dapat dia dengar. Kaavi menarik tangan Andin hingga gadis itu tertarik, nyaris terjatuh di atas tubuhnya kalau saja Andin tidak menahan tubuhnya sendiri. “Din … lo pernah nyakitin orang yang lo sayang, nggak?”

Pertanyaan itu membuat Andin diam seketika. Dia melihat Kaavi sudah sepenuhnya memejam dan meracau tidak jelas. Sampai Andin perlahan menarik tangannya dari genggaman Kaavi. Memutuskan untuk tidak menjawab apa pun, sebab dia yakin Kaavi hanya tengah melantur. Andin pun berdiri dan berjalan pergi menuju kamarnya guna mengambilkan selimut untuk Kaavi.

Tak butuh waktu lama Andin datang kembali dan menyelimuti Kaavi di sana yang sudah tertidur. “Kali ini gue beneran kasihan sama lo,” katanya. Gadis itu memperhatikan Kaavi yang memejamkan matanya dengan tenang.

Andin melirik ponsel Kaavi yang menyala. Ada panggilan masuk dari kontak bernama Jira, Andin bisa melihatnya dengan jelas. Dia tidak tahu siapa Jira, entah mengapa Andin merasa tidak suka melihatnya. Panggilan itu berkali-kali masuk dan Andin dengan sigap mematikan ponsel Kaavi. Dia akan membiarkan Kaavi beristirahat.

Sementara di tempatnya saat ini, Jira tengah mencoba sekali lagi menghubungi Kaavi. Namun, nomornya mendadak tidak aktif sekarang. Jira lantas menatap Ibra dan Izhar bergantian. Lalu dia menggeleng pelan, menandakan Kaavi tidak bisa dihubungi.

“Ke mana lagi,” ujarnya pelan. Ibra tidak tahu ke mana Kaavi pergi saat-saat seperti ini, kecuali—tunggu, dia sepertinya tahu.

“Kayaknya aku tahu dia di mana, Kak.”

“Di mana, Ibra?”

“Tempatnya Andin.” Ibra yakin sekali Kaavi di sana entah kenapa.

“Nggak perlu didatangi, tunggu aja di sini sampai dia pulang,” sahut Izhar. Membuat Ibra dan Jira menatap bingung, kenapa mereka tidak boleh menyusul. Mengerti apa arti tatapan itu, Izhar pun kembali menambahkan. “Dia bisa-bisa nggak mau nemuin kita kalau waktunya diganggu.”

Ah benar juga. Ibra mengangguk setuju, dia membenarkan hal itu. Ada baiknya mereka menunggu saja. Sama dengan Ibra, Jira pun akhirnya ikut saja.

“Tapi sampai jam berapa kita nunggu?” tanya gadis itu. Jira tidak mungkin bisa menunggu lama hingga tengah malam.

“Kamu kalau gitu aku antar pulang aja, Kak. Biar aku sama Izhar yang ngobrol sama dia.” Ibra memberi usul, dia juga tidak tega jika Jira menunggu hingga tengah malam. Apalagi jika Jiva tahu. Meski sebenarnya bisa saja bertemu besok, tetapi Ibra tidak mau menunda waktu. Dia yakin Kaavi akan pulang.

“Aku tunggu sampai jam 12 malam, nanti aku kabarin Mas Jiva. Dia pasti ngerti, kok.” Jira meyakinkan dirinya sendiri tentang itu, karena dia yakin sekali Kaavi tidak bisa menghindarinya. Akan jadi kemungkinan besar jika Izhar dan Ibra akan diabaikan.

Kaavi mengerjap pelan beberapa kali, menyamankan pandangannya. Kepalanya cukup pusing sehingga kini dia memegang kepalanya sambil meringis. Saat tubuhnya sudah bangkit sepenuhnya, dia menyapu pandangan dan menemukan Andin di sebelahnya tertidur. Ah, dia baru ingat jika dia tengah berada di apartemen perempuan itu.

Pukul sebelas malam. Dia terbangun dari tidurnya karena merasa pegal. Tentu saja, karena dia tidur di sofa seperti ini membuatnya tidak banyak bergerak bebas. Dia pun mengambil ponselnya yang tergeletak di meja dan sempat bingung mengapa ponselnya dalam keadaan mati. Dia melirik Andin sekilas. Tahu jika Andin yang mematikannya.

Kaavi lantas mengaktifkan kembali ponselnya. Sambil menunggu, dia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Kendati Kaavi masih sedikit pusing, dia bisa berjalan dengan baik.

Ada banyak panggilan masuk dari Jira saat ponselnya berhasil aktif. Kaavi menatap serius layar ponselnya. Sial, Andin pasti sengaja mematikan ponselnya saat dia mabuk tadi karena ini.

Andin yang menyadari kekosongan di sebelahnya pun membuka matanya pelan. Dia mengubah posisinya menjadi duduk dan melihat ke arah dapur bertepatan dengan Kaavi yang kembali dari sana.

“Lo harusnya jangan matiin hp gue, Andin.”

“Baru bangun langsung marah-marah.” Andin terlihat tidak merasa bersalah. Dia justru tersenyum manis dan memilih bersandar pada sofa. Memperhatikan Kaavi yang masih berdiri di dekatnya sambil mengecek ponsel. “Baru jam segini, kok bisa kebangun? Apa mau lanjut di kamar?” tanyanya.

Kaavi menggeleng. “Gue mau balik sekarang.” Lelaki itu berjalan ke sofa, mengambil jaketnya.

Andin kemudian menahan lengannya sampai Kaavi nyaris menindihi tubuhnya. “Gue udah temenin lo tadi, sekarang gantian.”

“Gue ada urusan.”

Andin mengernyit tak suka. “Sama cewek yang namanya Jira tadi?” tanyanya.

“Iya.” Kaavi baru ingat Andin tidak tahu siapa Jira. Dia juga menyadari ada rasa tidak suka Andin dengan Jira. Hal itu membuatnya tersenyum tipis. “Jangan bilang lo cemburu? Andin, remember that we don’t involve love.”

Kaavi mendekat dan tanpa aba-aba memberi kecupan di pipi Andin. Setelahnya Kaavi meninggalkan Andin, mengabaikan teriakan perempuan itu. Kaavi hanya tertawa sepanjang langkah kakinya. Pikirannya kini masih kacau.

Kini tujuannya adalah rumahnya. Rumah yang akan selalu kosong, rumah yang tak akan memberikan sambutan hangat atau sekadar sapa yang diberikan orang tuanya. Kaavi mungkin terlihat keras kepala, terlebih masalah yang terjadi perihal kematian dua sahabatnya. Namun, pada kenyataannya Kaavi hanya memiliki mereka sebagai rumah. Dia hanya butuh waktu untuk menerima fakta yang ada, begitu pikirnya. Sayangnya mungkin tidak ada yang mengerti, bahkan Izhar atau Ibra sekali pun.

Menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam untuk sampai di rumahnya. Dia tahu jika Jira kemungkinan ada di sana menunggunya, tetapi Izhar dan Ibra—dia tidak tahu jika mereka ternyata ikut.

“Kalian ngapain?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

“Kok gitu, Kaav?” tanya Jira.

Kaavi menghela napasnya. Dia tidak bisa berlaku ketus kepada Jira. Bagaimanapun dia seorang perempuan dan Jira sudah seperti kakaknya sendiri. “Aku nanya aja, tumben. Bertiga lagi ke sininya, ada apa?”

“Biasa juga gue dateng ya dateng aja, tuh?” Izhar menyahut. Ibra memberikan anggukan tanda bahwa dia setuju.

Kaavi mau tidak mau membukakan pintu dan mengajak mereka semua masuk. Sementara menunggu di ruang tamu, Kaavi menyiapkan minum untuk ketiga sahabatnya.

“Lo dari mana? Kayak baru bangun tidur,” tanya Ibra dengan wajah inosen, membuat Jira dan Izhar ikut menatapnya sekarang. Izhar tentu saja bisa menebak bahwa Kaavi habis mabuk. Tidak tahu kalau Jira, Izhar tebak Jira juga paham. Namun, tidak dengan Ibra.

“Iya, baru bangun di tempat Andin.” Kaavi menjawab apa adanya.

Akhirnya Ibra mengangguk mengerti. Sesuai dugaannya. Izhar sendiri hanya menggelengkan kepalanya saja. Sudah hafal bagaimana Kaavi. “Ini si Ibra bawain kue titipan ibunya, makanya mau ketemu lo. Kebetulan gue sama Kak Jira juga mau temuin lo, jadi kita bertiga sekalian bareng," ucap Izhar menjelaskan.

“Kamu ditelepon nggak dijawab terus nggak aktif juga. Jadi, sekalian langsung aja ke sini siapa tahu kamu di rumah.” Jira menambahkan. “Tahunya nggak ada.”

Kaavi sempat menatap paper bag yang dibawa Ibra, lalu menoleh pada Izhar yang juga tengah menatapnya. Mendadak rasa bersalah menyelimuti hatinya. Izhar membutuhkannya, tetapi Kaavi malah mengabaikan dengan meminta Izhar untuk bermain bersama yang lain.

“Maaf,” kata Kaavi, entah kepada siapa. Mereka bertiga, Ibra, atau malah tertuju kepada Izhar saja.

“Soal Mas Jiv, aku tahu mungkin kedengarannya nggak enak waktu itu. Tapi, dia memang nggak berniat buat nuduh siapa-siapa, kok.” Jira berkata dengan pelan agar Kaavi bisa mengerti dan tidak tersinggung. “Aku ngerti kamu cuma butuh waktu, tapi jangan terlalu lama sendirian, ya?”

Kaavi memberikan anggukannya.

“Sekarang sisa kita, kalau kita pecah nanti malah susah ‘kan buat saling melindungi?” Ibra menambahkan. “Gue nggak mau kehilangan satu di antara kalian lagi,” lanjutnya.

“Gue ngerti, tapi gue nggak akan ikut campur soal itu.” Kaavi tetap pada keputusannya. Hingga ketiganya pun mengangguk mengerti, Kaavi berhak untuk percaya atau tidak. Dari awal Jiva hanya mengingatkan untuk berhati-hati saja.

“Kalau gitu kita pulang, ya? Kamu juga mau istirahat mungkin,” ujar Jira mengakhiri percakapan mereka. Setelah mendapat anggukan dari Kaavi, akhirnya mereka pamit untuk pulang.

Ada keheningan yang kini mengisi kesendiriannya. Mobil yang temannya kendarai sudah melaju pergi, keluar dari halaman rumah. Kaavi akhirnya kembali menuju kamar untuk beristirahat. Melupakan sejenak apa yang sempat memenuhi isi kepalanya.
[]

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response