— Bloody Message

byachlys
3 min readJan 4, 2023

Ibra mengabaikan beberapa pesan masuk yang ada di ponselnya, dia bahkan tidak melihat pukul berapa sekarang, fokusnya hanya Ayara. Rumah Ayara yang sejujurnya cukup jauh untuk sampai ke sana. Keselamatan gadis itu ada di tangannya. Bagaimana jika sesuatu terjadi, bagaimana jika yang dialami Gretta juga dialami Ayara? Meski penyebab kematian Gretta tidak mendapat titik terang, Ibra tidak mau kalau Ayara juga seperti itu.

Ibra meraih ponselnya untuk menghubungi Ayara, setidaknya dia tahu bagaimana keadaan si gadis saat ini.

"Ibra." Suaranya terdengar samar, tetapi Ibra tahu Ayara sedang ketakutan.

"Jangan dimatiin. Ngomong terus, Ay biar gue tau."

Ibra mempercepat laju mobilnya, persetan dengan keadaan jalanan yang begitu gelap. "Sekarang lo di mana?" tanya Ibra.

Ada keheningan yang membuat Ibra mendadak cemas. "Ay—"

"Nggak berani masuk." Jawaban itu cukup dimengerti Ibra. Ayara berada di luar rumah dan tak berani masuk. Ada sesuatu yang membuat gadis itu takut.

"Sebentar lagi," ujar Ibra. Di seberang sana Ayara terdengar beranjak dari tempatnya. Ibra mengernyit. "Lo ngapain?"

"Pindah."

Ibra tidak menjawab. Mobilnya sudah memasuki kawasan perumahan Ayara. Hanya perlu berbelok ke arah kanan lagi untuk sampai.

Saat Ibra berhasil sampai di kediaman Ayara, dia segera berlari keluar mendekati Ayara yang berjongkok di bawah jendela dinding kamarnya seraya mengigigiti kukunya.

"Ayara," panggil Ibra. Gadis itu perlahan mengangkat kepalanya dan bangkit, tanpa aba-aba memeluk Ibra. Perasaan lega dan cemas bercampur menjadi satu. Hingga pelukan terlepas, Ayara menoleh ke arah pintu rumahnya.

"Di dalam, di cermin, itu, pas lo masuk, ada cermin di ruang tengah—"

"Pelan-pelan, Ay. Ini lo panik, gue mastiin sendiri aja kalau gitu." Jujur saja, Ibra juga sedikit takut, tetapi rasa penasarannya lebih mendominasi. Dia hendak masuk sendiri, tetapi Ayara mengikutinya di belakang.

Keduanya sampai di ruang tengah. Pada awalnya Ibra merasa tak ada yang salah dengan cermin yang Ayara sebutkan di depan tadi. Namun, saat Ayara mengarahkan pada satu cermin lainnya yang berada dekat lemari bufet, Ibra mematung. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

“Ready to celebrate your birthday?”

Ibra mendekat pada cermin itu. Memastikan apakah yang tertulis di sana juga menggunakan darah atau tidak. Saat Ibra menyentuhkan satu jarinya di sana, dia menciumnya sedikit lalu kembali membersihkan tangannya.

Benar-benar darah.

"Ay, gue nggak ngerti ini apa maksudnya." Ibra memperhatikan cermin itu dan tatapannya terhenti pada sudut cermin di mana selain tulisan yang ada di sana, ada juga gambar yang membuatnya penasaran. "Phoenix?" gumamnya.

Ibra kemudian menatap Ayara. "Kemarin tisu yang kita beresin itu, sekarang ini apa lagi?”

Ayara sejenak ragu untuk mengatakannya atau tidak pada Ibra, tetapi Ibra sudah sejauh ini untuk tahu maka Ayara pada akhirnya menceritakan semuanya. "Hari itu, selesai pemakaman Gretta, malamnya gue dapet email. Isinya tentang apa harapan gue di hari ulang tahun gue dan kesedihan apa yang gue alami selama ini. Gue awalnya pikir itu cuma email biasa, gue anggap itu email dari orang iseng. Terus, lusa setelahnya gue dapet lagi. Orang itu bilang, dia bisa wujudin harapan atau hal yang selama ini gue mau, gue—"

"Ay, jangan bilang—"

"Iya. Lo benar, gue ungkapin semuanya di sana."

Ibra bergeming, tubuhnya menjadi lemas.

"Apa yang lo mau?"

Ayara bungkam. Dia mengalihkan pandangannya sementara Ibra masih mencecar. "Apa yang lo bilang ke dia, Ay?"

Ibra menatap kembali pada cermin yang tertulis di sana. Membayangkan kematian Gretta, pesan yang dia terima, insiden tisu, paket yang di terima Jiva, insiden Hans, dan sekarang email yang diterima Ayara—semua ini, bukankah saling berkaitan?

Ulang tahun.

‘Who’s next?’—Ibra terbelalak. Tidak salah lagi. Dia tahu apa maksudnya. Bulan Februari, lambang Phoenix, terhitung beberapa hari lagi dari sekarang. Jika memang Gretta adalah korban pertama dan Ayara saat ini menjadi korban berikutnya, itu berarti semua akan mendapat giliran.

"Bisa lo kasih tau gue, Ay? Keinginan lo apa? Ini menyangkut keselamatan lo, Ayara. Bilang sama gue apa yang lo bilang ke orang itu!"

"Lo bakal tahu kalau itu terjadi 'kan?" Ayara memberanikan diri menatap Ibra. "Jadi tunggu aja."[]

--

--

No responses yet