"Tau nggak kemarin gue denger orang tuanya Izhar ke sekolah."
"Nggak, kenapa emangnya? Jangan-jangan gara-gara ribut sama Dika, ya? Di belakang sekolah itu?"
"Kok gue nggak tau, sih? Terus, gimana ceritanya? Orang tuanya dateng, terus apalagi?"
"Yang dateng itu papanya. Kita tau 'kan papanya itu juga salah satu donatur di sekolah. Tapi bukan itu yang mau gue ceritain."
"Apa?"
"Izhar itu anak yang kebetulan beruntung aja yang diurus dari panti asuhan."
Izhar mendengar bisikan-bisikan itu. Ia mengabaikan omongan semua orang di sana, tidak peduli seberapa banyak namanya disebut—Izhar hanya akan menutup telinga serapat mungkin seolah ia tidak pernah mendengar apa-apa tentangnya.
Izhar tahu semuanya, bahkan foto-foto dirinya serta informasi tentangnya dipajang di mading sekolah sebagai tontonan gratis mereka dan menjadikan itu sebagai bahan perbincangan yang paling seru untuk dibahas.
Biasanya Fathan akan menemaninya, membelanya—pasang badan untuknya dan membawanya pergi untuk dihibur. Fakta bahwa Fathan sudah tak ada di sekolah yang sama membuat Izhar kehilangan sosoknya. Fathan pindah sebab orang tuanya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman karena tidak bisa lagi hidup di kota—mau tidak mau Fathan turut ikut serta pindah sekolah. Meninggalkannya sendirian tanpa ada lagi yang mau membelanya.
Dulu, Izhar hanya seorang anak yang lugu, temannya adalah buku-buku tebal yang katanya sangat kolot. Kendati Izhar memiliki orang tua yang kaya dan dikenal sebagai pebisnis yang hebat—tak membuat dirinya diperlakukan sebagaimana orang yang memiliki nama. Mereka memalak, memperlakukan Izhar layaknya seorang anak payah dan bisa kapan saja dipermainkan.
Dibawa ke atas rooftop sekolah, dimasukkan ke dalam gudang tua tak terpakai bukanlah sesuatu yang baru. Biasanya Fathan yang akan menolongnya sampai rela kena hajar.
"Pengecut kalian semua! Beraninya ngehajar ramean gini," kata Fathan saat tengah membela Izhar.
"Gue tau lo pasti ngambil untung 'kan biar bisa dijajanin sama si culun ini? Dibayar berapa lo anak miskin?" Dika berada paling depan di antara teman-temannya. Merasa tak puas sebab aksi perundungan yang ia lakukan kepada Izhar digagalkan kembali karena Fathan datang.
Izhar tak akan melupakan masa-masa itu. Masa di mana Fathan menjadi temannya disaat semua orang menjauhinya. Fathan menjadi orang yang paling membelanya disaat semua orang tak mengulurkan tangan, bersikap tak peduli apa yang terjadi dengannya.
Tetapi mungkin, Izhar terlalu menutup mata pada fakta bahwa sejatinya ia hanya memiliki dirinya sendiri. Orang-orang akan pergi meninggalkan dirinya. Begitu juga yang terjadi dengan Fathan.
Hari itu ia kembali diseret paksa, dibawa ke rooftop sekolah, dikelilingi oleh Dika dan teman-temannya. Merundungnya seperti biasa, dihajar, dipaksa untuk melakukan perintahnya. Dika tertawa layaknya manusia paling bahagia melihat dirinya terluka.
"Sekarang udah nggak ada Fathan yang bakal nolongin lo," katanya. Dika mengeluarkan ponselnya. Anak itu seperti tengah mencari sesuatu di sana. Sampai pada detik berikutnya ia tersenyum sinis dan menaikan volume suara rekaman dari ponselnya hingga membuat keheningan terjadi dan Izhar sontak membeku di tempatnya.
"Lo semua benar. Gue emang manfaatin Izhar karena dia kaya. Dia bisa beli apa aja buat gue, gue bisa manfaatin dia, gue nolongin karena terpaksa—"
"Dengar 'kan?" tanya Dika saat rekaman itu ia hentikan. Memasukkan kembali ke dalam sakunya. "Lo itu cuma sampah yang lagi dipungut sama Fathan, terus dijual buat keuntungannya. Sama kayak orang tua lo." Dika dan teman-temannya tertawa merendahkan.
Salah satu dari mereka maju dan menarik kerah Izhar hingga kacamata milik Izhar terjatuh. "Cepet rekam!" titahnya. Sontak semua berseru. Satu di antara mereka merekam bagaimana Leo dan dibantu satu orang lainnya untuk membuka paksa seragam Izhar yang sudah acak-acakan. Wajah Izhar sudah pucat, sudut bibirnya robek, tubuhnya sudah kotor—menyedihkan.
Ingatan kelam itu tak akan pernah ia lupakan. Sehari setelah itu Izhar meminta untuk pindah sekolah tanpa menjelaskan apa yang terjadi padanya. Mami dan Papi tidak bertanya lebih selain mengucapkan sederet kalimat seperti, "Makanya kamu sekolah jangan ribut terus, Izhar. Mami kasih izin kamu pindah, asal ini yang terakhir."
Mami dan Papi tidak pernah bertanya bagaimana bisa luka itu ada.
Izhar pada akhirnya pindah di sebuah sekolah yang sederhana, tidak semewah sekolah sebelumnya dan itu adalah pilihannya. Pada awalnya Papi tidak setuju namun Izhar memohon dengan sungguh, jadi dengan terpaksa Papi membiarkan dirinya. Izhar merasa canggung di sekolah barunya, ia sebenarnya tidak tahu apa yang membuatnya begitu tidak disukai. Namun, saat satu anak murid yang duduk di ujung kelas mendekatinya dan mengajaknya ke kantin bersama, anak itu mengatakan satu fakta yang membuat Izhar mengerti.
"Lo, tuh banyak yang disuka sama anak cewek di sekolah. Padahal baru tiga hari. Pakai pelet, ya lo?"
Namanya Kaavi.
Sejak hari itu mereka berteman. Tak ada dari mereka yang mengganggu Izhar seperti awal pertama masuk sekolah. Katanya Kaavi itu disegani. Bukan karena menakutkan, tetapi terlalu baik sehingga mereka semua beranggapan bahwa Kaavi adalah orang yang harus dihargai. Makanya Izhar yang menjadi teman dekatnya pun aman-aman saja.
Pada awalnya semua berjalan dengan baik dengan Izhar yang bersyukur kehidupannya tidak seburuk saat ia di sekolah lama. Ada Kaavi di sampingnya yang selalu siap siaga. Kendati demikian, ada momen di mana Izhar juga mengingat Fathan—takut jika akhirnya Kaavi sama seperti Fathan yang meninggalkan dirinya, bahkan memanfaatkannya. Bagaimana jika Kaavi menjadikan dirinya sebagai teman atas dasar keinginannya untuk bisa tercapai? Bagaimana jika Kaavi juga meninggalkan dirinya seperti Fathan?
Semua itu membuat dirinya tidak tenang. Izhar selalu merasa was-was. Setiap kali ia melihat Kaavi bermain bersama dengan yang lain, Izhar panik dan mulai cemas kalau sewaktu-waktu ia dibicarakan dari belakang, dilupakan, ditinggalkan. Hal itu tentu membuatnya berpikir yang tidak-tidak sampai ada satu hari di mana Kaavi mengajaknya bergabung bersama yang lain, Izhar menolak dan berkata, "Main aja lo sama mereka, nggak usah ajak gue. Lo cuma manfaatin gue 'kan? Lo perlu uang berapa? Lo perlu gue ngapain? Perlu nggak gue sujud-sujud di kaki lo biar gue nggak dipaksa?"
Kaavi yang mendengar itu tentu saja terkejut. "Lo pikir gue mau temenan sama lo karena duit apa? Tau, sih gue nggak kaya amat, tapi gue punya otak lah. Sejahat itu kah gue di mata lo, Zar?" Kaavi marah, jelas dia tersinggung. Selama ini dia merangkul Izhar dengan tulus, tetapi Izhar ternyata berpikir demikian hingga membuatnya tidak bisa terkontrol. Kaavi tipe yang mudah tersulut anaknya, memang keras. Jadi ia meninggalkan Izhar hari itu sampai mendiamkan Izhar selama beberapa hari.
Hal itu jelas membuat orang-orang bertanya apa yang terjadi. Izhar juga tidak hadir selama tiga hari dan membuat Kaavi merasa bersalah. Jadi pada hari keempat di mana Izhar tak juga masuk sekolah, Kaavi memutuskan untuk menjenguknya. Seharusnya ia ikut menjenguk di hari kedua, tetapi Kaavi tidak bisa ikut hari itu.
Kaavi datang dan disambut oleh Bi Yuli, pembantu rumah tangga di rumah Izhar. Katanya, orang tua Izhar memang sedang tidak ada di rumah, jadi memang sepi. Kaavi dipersilakan masuk dan diantar sampai depan kamar Izhar.
"Nak Izhar, ini temannya datang."
Pintu tak langsung dibuka, ada suara yang lumayan berisik di dalam sana. Kaavi menatap Bi Yuli dan berkata, "Biar aku aja yang manggil, Bi. Boleh ditinggal aja.”
Akhirnya Bi Yuli pamit dan meninggalkan Kaavi yang tengah mencoba mengetuk pintu kamar sahabatnya.
“Zar—”
"Masuk."
Kaavi perlahan membuka pintu kamarnya. Ini adalah pertama kalinya ia masuk kamar sang sahabat. Dulu ia hanya akan berani sampai di halaman belakang saja mainnya. Kamarnya sudah pasti luas seperti yang ia duga. Dominan berwarna abu-abu dan banyak sekali alat musik seperti gitar dan piano. Ada beberapa lukisan, bingkai foto dan robot mainannya yang terpajang di dalam.
Kaavi sejujurnya masih canggung. Ia masih merasa bersalah tentang ucapannya tempo hari hingga membuat Izhar barangkali tersinggung. Kaavi seharusnya mengerti bahwa mungkin Izhar memiliki trauma—kenangan yang buruk sehingga berpikir bahwa apa yang terjadi di masa lalu akan terulang kepada mereka.
Izhar takut ditinggalkan.
"Gue minta maaf, ya." Kaavi tersenyum canggung saat ia sudah duduk di sofa kamar Izhar. Si pemilik kamar pun duduk di tepi ranjang, masih diam. Keadaannya cukup buruk, siapa pun tahu kalau Izhar tengah kacau.
"Gue nggak apa-apa. Harusnya gue nggak nuduh lo kayak gitu, Kaav. Keadaan gue yang dulu beda sama sekarang, gue harusnya bisa kontrol diri gue, ketakutan gue di masa lalu nggak seharusnya gue tumpahin ke lo."
"Gue ngerti." Kaavi mengembuskan napasnya. "Jadi lupain aja yang waktu itu, gue belum sepenuhnya tau masa lalu lo kenapa, jadi gue pikir lo asal ngomong—padahal lo punya alasan."
Izhar tersenyum tipis.
"Maaf, ya. Gue—"
"Tangan lo kenapa?" Kaavi memandang lekat lengan baju yang tersikap sehingga sayatan di pergelangan tangan Izhar nampak jelas di sana. Masih basah—Kaavi panik dan mendekat saat Izhar bergerak menutupnya.
"Biasa, kok ini."
"Biasa?"
"Iya. Gue biasa lakuin ini, jadi nggak usah panik."
Kaavi lemas. Ia baru pertama kali melihat yang seperti ini. Ia memandang sendu sahabatnya di sana yang tengah memberikan senyum seolah semua bukanlah apa-apa, tak perlu dipikirkan. "Zar, apa yang udah buat lo kayak gini, cerita sama gue."
Semenjak hari itu Izhar menceritakan semuanya kepada Kaavi. Masa lalunya, rasa sakitnya, ketakutannya sampai membuat Kaavi tak banyak bicara untuk berkomentar. Kaavi tahu kalau Izhar tak suka dikasihani. Maka Kaavi hanya terus menghibur, mengajaknya bermain, membantu melupakan yang dulu dan tak pernah meninggalkan dirinya. Kaavi bahkan yang pelan-pelan membantu Izhar lepas dari semuanya, kegiatan yang tak seharusnya dilakukan. Kaavi membantu Izhar untuk datang ke psikiater sampai Izhar membaik dan benar-benar menjalani hidup dengan tenang.
Semua berjalan dengan baik sampai mereka melewati masa SMA dan masuk kuliah di kampus yang sama, mendapat teman-teman baru dan berakhir bertemu dengan delapan orang sahabat baiknya.
Izhar merasa sangat bahagia ketika ia mengenal mereka semua. Berbagai macam karakter yang ia kenal membuat ia banyak mengerti. Belajar banyak hal baru dan menganggap bahwa mereka adalah keluarga yang selama ini ia cari.
Semua berjalan begitu saja sampai Mami dan Papi mulai lebih suka pulang dan beralasan bahwa mereka merindukan putranya. Mami dan Papi terlihat lebih nyaman di rumah—kendati kebiasaannya tak pernah berubah. Sibuk dengan urusannya. Izhar pada awalnya juga tidak memikirkan hal itu, melihat orang tuanya ada di sekitarnya sudah lebih dari cukup. Mami dan Papi juga tahu tentang sahabatnya yang lain dan menganggap bahwa Izhar akan selalu bahagia karena ada mereka yang akan menemani Izhar.
Izhar tidak tahu sejak kapan tepatnya ketika ia mulai merasa semua menjadi berbeda. Satu-persatu sahabatnya mulai mengalami perubahan dari mulai masalah keluarga masing-masing sampai pada satu keadaan di mana mereka saling sibuk karena memikirkan masalah sendiri. Izhar merasa semua mulai mengabaikan dirinya. Ia juga sebenarnya mengerti ada kalanya mereka mengurus masalah yang tengah dialami, waktu yang mereka punya tidak selalu dibagi untuknya. Tetapi Izhar semakin merasa ia sendirian.
"Kaav, kemarin Mami kasih gue tiket nonton konser—"
"Gue kayaknya nggak bisa. Rumah lagi kacau, Zar. Mama Papa ribut terus, gue pusing banget."
Izhar tersenyum memaklumi, ia tahu bagaimana Kaavi dan keluarganya. Izhar pikir, akan sampai di sana saja. Tetapi, ternyata ia lelah memaklumi masalah teman-temannya. Sampai ada satu hari di mana Raksa berkata, "Ajak yang lain, deh. Lo 'kan enak ada Mami Papi, Zar. Gue lagi ada masalah sama Mama."
Jadi, mereka semua berpikir kalau Izhar dan keluarganya adalah keluarga yang harmonis. Keluarga yang baik-baik saja. Bahkan Kaavi yang jelas tahu masalah keluarganya saja demikian. Berpikir bahwa Izhar tak lagi akan merasakan diasingkan Mami Papinya.
Izhar mulai memahami. Ia mulai memperhatikan bagaimana mereka semua sibuk dengan kesedihannya. Kesedihan seperti yang ia alami dulu.
Bukankah jika ia membantu dan memberikan saran untuk sahabat tersayangnya itu akan menyenangkan?
Tetapi dengan cara apa?
Izhar terus memikirkan banyak cara bagaimana membantu sahabatnya. Sampai ia menemukan sebuah cara yang menarik, benar-benar menarik. Ide itu ia dapatkan di hari mereka semua berkumpul di rumah Jiva. Mereka semua membahas kesibukan dan kegiatan mereka saat itu. Izhar mendengar bahwa Jira mendapatkan tawaran untuk naskahnya yang akan diterbitkan. Jira bercerita begitu semangat dan mereka semua memberikan dukungan penuh untuk gadis itu.
"Pokoknya harus semangat, mood kamu harus bagus, Ji!" ujar Gretta hari itu.
"Eh bentar potong dulu, gue mau ke toilet." Izhar tertawa kecil dan Jiva memberikan anggukan.
"Nggak perlu 'kan diantar, jangan manja."
"Nggak lah gila, anak kecil emangnya?" Izhar langsung pergi dari sana. Mereka semua tertawa dan kembali menyambungkan kembali topik obrolannya. Sementara Izhar yang tengah ke toilet menyelesaikan urusannya.
Setelah selesai Izhar awalnya ingin langsung kembali, tetapi ketika melewati tangga dan terlihat kamar Jira yang terbuka, Izhar mendadak terdiam. Apakah ada sesuatu yang menarik, mengingat Jira adalah seorang penulis—mungkin Izhar bisa menemukan sesuatu untuk membantunya terkait dengan caranya untuk membantu teman-temannya.
Izhar masuk ke dalam dan menemukan beberapa lembar kertas dan buku yang masih terbuka. Banyak sekali tulisan-tulisan acak atau buku-buku yang mirip sekali dengan jurnal, mungkin lebih mirip seperti kerangka. Kalau tidak salah kebanyakan penulis memiliki outline untuk ceritanya. Izhar iseng melihat lalu membacanya dengan serius sampai detik berikutnya sudut bibirnya tertarik.
Ia tahu apa yang akan ia berikan untuk teman-temannya.
Sejak hari itu Izhar mulai merencanakan semuanya. Ia juga membuat papan kosong yang terpajang di dinding kamar. Memasang foto-foto sahabatnya di sana.
"Sebentar," katanya. Ia memandangi foto Jira di meja. Ia berpikir sesuatu yang menarik. Lalu tersenyum. "Foto kamu nggak aku pasang, karena kamu nggak mungkin aku biarin pergi." Izhar lantas mengambil fotonya sendiri lalu dipasang bersama teman-temannya.
"Menarik 'kan kalau semua orang berpikir aku juga pergi—padahal aku yang buat semua ini."
Izhar juga menyangkut pautkan orang-orang yang bisa ia manfaatkan untuk menyempurnakan rencananya.
“Ok, let’s start this game!”[]